• Home
  • Kamis, 22 Maret 2012

    Aspek Hukum Bank Garansi


    ASPEK HUKUM GARANSI BANK
     Oleh
    ESTHER DWI MAGFIRAH
     PENDAHULUAN
    Dalam suatu aktivitas bisnis, masalah pembiayaan menempati posisi yang signifikan. Tanpa kelancaran transaksi finansial, kinerja pelaku usaha akan mengalami hambatan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, para pihak yang terlibat dalam satu transaksi bisnis kerap kali mengikutsertakan pihak ketiga untuk menjamin likuiditas dana. Guna mengakomodasi kepentingan itulah, pelaku bisnis memanfaatkan jasa lembaga keuangan seperti perbankan.
    Salah satu jasa lembaga perbankan dalam menunjang aktivitas bisnis tersebut adalah bank garansi. Penerbitan bank garansi merupakan salah satu jasa layanan yang ditawarkan perbankan untuk membantu kelancaran dunia usaha. Jasa layanan perbankan tersebut selaras dengan amanat pasal 1 butir 2 Undang – Undang Perbankan, yang menyebutkan bahwa
    Bank umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
    Artikel ini akan mendeskripsikan secara singkat tentang eksistensi lembaga garansi bank dalam menunjang kelancaran aktivitas bisnis. 
    GARANSI BANK
    Istilah garansi berasal dari bahasa Inggris guarantee atau guaranty yang berarti menjamin atau jaminan.
    Pasal 1 butir 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (SKBI) No. 11 / 110 / Kep / Dir / UPPB tanggal 28 maret 1979 tentang pemberian Jaminan oleh Bank dan Pemberian jaminan oleh lembaga keuangan bukan Bank, menyebutkan :
    Jaminan adalah warkat yang diterbitkan oleh bank atau lembaga keuangan bukan bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima jaminan apabila jaminan pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi).
    Dalam garansi bank, ada tiga pihak yang terlibat yaitu :
    1.    Pihak penjamin              : pihak yang memberikan jaminan (pihak bank)
    2.    Pihak terjamin               : pihak yang dijamin (nasabah)
    3.    Pihak penerima jaminan             : pihak yang menerima jaminan
    Jadi, garansi bank merupakan suatu perjanjian tertulis yang isinya bank menyetujui untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan guna memenuhi kewajiban terjamin dalam suatu jangka waktu tertentu dan dengan syarat – syarat tertentu berupa pembayaran sejumlah uang tertentu apabila terjamin di kemudian hari ternyata tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan.
    Atas pemberian garansi bank trsebut, maka bank akan menerima fee dari terjamin berupa sejumlah uang tertentu yang disebut provisi. Jumlah provisi ini dihitung atas dasar prosentase tertentu dari jumlah garansi bank untuk jangka waktu tertentu pula (Anwari, 1981 : 9)
    PERJANJIAN GARANSI
    Kesepakatan pemberian garansi bank oleh perbankan kepada terjamin dituangkan dalam suatu perjanjian yang disebut perjanjian bank garansi vide pasal 1824 KUH Perdata, pasal tersebut menentukan bahwa penaggungan (jaminan) harus ditentukan secara tegas meski tidak harus secara tertulis. Namun sebagaimana lazimnya, suatu perjanjian perbankan selalu dituangkan dalam bentuk akta tertulis untuk menjamin kepentingan hukum para pihak. Berdasarkan surat perjanjian garansi bank tersebut bank akan memberikan surat garansi bank kepada terjamin untuk diserahkan kepada penerima jaminan.
    Menurut Anwari (1981 : 26) Surat Perjanjian Garansi Bank memuat syarat minimal sebagai berkut :
    1.   Tujuan penggunaan garansi bank
    2.   Jumlah tertinggi garansi bank
    3.   Tanggal mulai berlaku serta jangka waktu garansi bank
    4.   Tempat kedudukan (domisili) terjamin dan bank
    5.    Macam jaminan lawan yang diserahkan oleh jaminan kepada bank serta nilainya
    6.   Terjamin tunduk kepada ketentuan – ketentuan dan peraturan – peraturan tentang                         pemberian garansi bank yang ditetapkan oleh bank
    7.   Terjamin tunduk kepada intruksi – intruksi dan peraturan – peraturan yang dikeluarkan       oleh pemerintah dan bank indonesia serta kelaziman perbankan
    8.   Biaya garansi bank yang harus dibayar oleh terjamin
    9.   Terjamin memberi kuasa yang tak dapat dicabut kembali kepada bank untuk sewaktu –      waktu mencairkan jaminan lawan guna melunasi hutang terjamin sebagai akibat dilaksanakannya pembayaran garansi bank maupun hutang lainnya yang timbul             sehubungan dengan pemberian garansi bank tersebut.
    SKBI No. 11 / 110 tahun 1979 tidak memberikan definisi tentang perjanjian garansi bank. SKBI tersebut hanya menentukan hal – hal minimal yang harus dipenuhi dalam satu garansi bank.
    Pasal 2 butir 2 SKBI mengatur syarat minimal dalam garansi bank sebagai berikut :
    1.   Judul garansi bank atau bank garansi
    2.   Nama dan alamat bank pemberi garansi
    3.   Tanggal penerbitan garansi bank 
    4.   Transaksi antar pihak yang dijamin dengan penerimaan jaminan
    5.   Jumlah uang yang dijamin oleh bank
    6.   Tanggal mulai berlaku dan berakhirnya garansi bank
    7.   Penegasan batasn waktu klaim
    8.   Pernyataan bahwa penjamin (bank) akan memenuhi pembayaran denganterlebih dahulu     menyita dn menjual benda – benda terjamin (nasabah) untuk melunasi hitungannya            sesuai dengan pasal 1831KUHPerdata, atau pernyataan bahwa penjamin (bank)      melepaskan bank istimewanya untuk menuntut supaya benda – benda terjamin      (nasabah) lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya vide pasal 1832       KUHPerdata.
    Pasal 2 butir 3 SKBI menentukan hal yang tidak dimuat dalam garansi bank sebagai berikut :
    1.         Syarat – syarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi untuk berlakunya garansi bank
    2.         Ketentuan bahwa garansi bank dapat diubah atau dibatalkan secara sepihak
    Sebagaimana diketahui, lembaga perbankan diwajibkan untuk bersikap selektif dalam melakukan aktivitas untuk meminimalisasi risiko. Berdasarkan prudential banking (prinsip kehati – hatian bank), dalam pemberian garansi bank, garansi harus melakukan penilaian secara seksama terhadap calon nasabah. SEBI No. 11 / 11 UPPB tanggal 28 Maret  1979, mengharuskan bank untuk :
    1.         Meneliti bonafiditas pihak yang dijamin
    2.         Meneliti sifat dan menilai transaksi yang akan dijamin sehingga dapat diberikan jaminan yang sesuai
    3.         Menilai jumlah jaminan yang akan diberikan bank
    4.         Menilai kemampuan pihak yang akan dijamin untuk memberikan kontra jaminan yang cukup sesuai dengan kemungkinan terjadinya resiko.
    Menurut Munir Fuady (1997 : 202) untuk membatasi risiko dalam penerbitan garansi bank, pihak bank mensyaratkan adanya jaminan lawan (counter garanty) yang nilainya ditentukan oleh kebijakan bank namun biasanya setara dengan nilai jaminan yang tercantum dalam garansi bank. Jaminan lawan tersebut tidak harus dalam bentuk uang tunai, melainakn bias berupa giro, deposito, surat – surat berharga, atau lainnya yang dianggap aman oleh bank



    Tabel 1
    Jumlah nilai Masing _ masing Jenis Counter Garanty
    Jumlah Jaminan Lawan
     Nilai Garansi
    1.   Uang tunai yang disetor ke bank
    2.   Dana giro yang dibekukan
    3.   Deposito
    4.   Surat – surat berharga
    5.   Barang bergerak
    6.   Barang tidak bergerak
    7.   Harta tak berwujud seperti tagihan dan hal lain    yang sifatnya serupa dengan itu
    8.   Harta kekayaan lain yang dapat diterima oelh bank
    9.   Performance bond, bid bond dan advance payment bond
    100 %
    100 %
    100 %
    100 %
    150%
    150%
    150%

    150%
    <nilai garansi bank
    Sumber : Anwari, 1981 : 23
    ASPEK HUKUM GARANSI BANK
    Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa garansi bank diterbitkan oleh perbankan untuk meminjam pelaksanaan prestasi yang dijanjikan terjamin kepada penerima jaminan apabila terjamin tidak melakukan prestasi tersebut. Dengan demikian, lembaga garansi bank merupakan bentuk dari perjanjian penanggungan  ( borghtoch ) yang diatur dalam Buku III KUHPerdata dalam pasal 1820 – 1850 KUHPerdata.
    Pasal 1820 KUHPerdata menyebutkan bahwa :
    Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan nama seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatnya si berhutang manakala orang ini sendiri tak memenuhinya.
     Sebagaimana perjanjian jaminan pada umumnya, perjanjian garansi bank merupakan perjanjian assesoir ( perjanjian tambahan ) yang menyertai suatu perjanjian pokok. Perjanjian pokok yang dibuat oleh pihak terjamin dan penerima jaminan merupakan dasar dari dibuatnya perjanjian garansi bank.
    Berdasarkan ketentuan pasal 1820 – 1821 KUHPerdata, ada beberapa karakteristik dari perjanjian penanggungan sebagai berikut :
    1.         Perjanjian garansi bersifat assesoir.
    2.         Hak – hak yang terbit dari suatu garansi bersifat kontraktual bukan hak kebendaan.
    3.         Kedudukan kreditur bersifat konkuren.
    4.         Gurantor merupakan target setelah debitor.
    5.         Garansi tidak bisa dipersangkakan ( Fuady, 1997: 200 ).
    Akibat – akibat hukum yang timbul dari suatu perjanjian jaminan antara penjamin dan penerima jaminan diatur dalam 1831 – 1838 KUHPerdata sedangkan akibat – akibat hukum yang muncul antara penjamin dan terjamin ditentukan dalam pasal 839 – 1844 KUHPerdata.
    Ketentuan tentang perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata, termasuk ketentuan mengenai perjanjian jaminan ( penaggungan hutang ) dalam pasal 1820 – 1850 KUHPerdata menganut sistem terbuka. Para pihak bebas menentukan sendiri isi perjanjian diantara mereka. Peraturan dalam hukum perjanjian bersifat pelengkap yang berarti ketentuan tersebut disediakan oleh pembentuk undang – undang untuk dipergunakan oleh para pihak yang membuat perjanjian apabila ternyata mereka kurang lengkap atau belum mengatur suatu hal tertentu.
    Dalam pelaksananan perjanjian garansi bank, apabila terjamin tidak melakukan kewajibannya kepada penerima jaminan maka pihak bank yang harus menunaikan kewajiban tersebut dengan membayar sejumlah uang seperti yang tertera dalam garansi bank.
    Dengan dilaksanakannya pembayaran garansi bank kepada penerima jaminan, maka jumlah yang dibayarkan itu menjadi hutang terjamin kepada bank. Pihak bank akan segera mencairkan counter garanty yang telah diberikan terjamin untuk membayar kembali dana yang diserahkan bank kepada pihak penerima jaminan. Apabila langkah tersebut masih menyisakan hutang bagi terjamin kepada pihak bank maka terjamin harus membayar hutang tersebut dalam suatu jangka waktu tertentu. Apabila dalam durasi waktu yang telah ditentukan, terjamin tidak melunasi hutangnya maka hubungan hukum antara penjamin (bank ) dengan terjamin (nasabah) berubah menjadi hubungan kreditor dengan debitor dalam suatu perjanjian kredit biasa. Berdasarkan hal ini, maka diantara terjamin dan bank dibuat akta perjanjian kredit untuk jangka waktu yang ditentukan pihak bank.

    PENUTUP

    Kebutuhan akan likuiditas dana dalam bisnis akan sangat mempengaruhi kelancaran aktivitas usaha. Adanya kepastian pencairan transaksi kuangan dari pihak perbaankan melalui penerbitan garansi bank memberikan kontribusi yang urgen bagi kesinambungan kinerja dunia usaha.
    Eksistensi lembaga keuangan seperti perbankan dalam sistem perekonomian adalah untuk menghimpun dan menyalurkan dana dari dan untuk masyarakat termasuk kalangan dunia bisnis. Namun dalam pelaksanaannya pihak perbankan harus tetap tegas pada prinsip prudential banking untuk meminimalisasi resiko bagi pihak bank c.q dana masyarakat tanpa harus mengurangi efisiensi dan efektifitas penyaluran dana termasuk dalam penerbitan garansi bank bagi pelaku bisnis yang memerlukan fasilitas tersebut.


    DAFTAR PUSTAKA

     Ahmad Anwari, 1981, Garansi Bank Menjamin Usaha Anda, Aksara Pustaka, Jakarta.
    ______________, 1985, Himpunan Peraturan Garansi Bank, UPN, Jakarta.
    Munir Fuady, 1997, Pembiayaan Perusahan Masa Kini (Tinjauan Hukum Bisnis), Citra Aditya, Bandung.
    Subekti Dan Tjitrorosudibyo, 1992, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
    Bank Indonesia, Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 11 / 110 / Kep / Dir / UPPD, 28 Maret 1979.
    Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia No. 11 / 11 / UPPD, 28 Maret 1979.

    0 komentar: