Kekuatan Hukum Pengikatan Perjanjian Kredit dengan Akta di Bawah Tangan
Perjanjian Kredit yang ditandatangani antara debitur dan kreditur
dilakukan di bawah tangan (tidak notarial), apakah memiliki kekuatan
hukum? Dan sebaiknya mana yang harus dilakukan oleh bank dalam
pengikatan kredit, apakah notarial atau un-notarial? Terima kasih.
1. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), para pihak dalam membuat kontrak bebas untuk membuat suatu perjanjian, apapun isi dan bagaimana bentuknya. Pasal 1338 KUHPerdata berbunyi:
Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Meskipun
demikian, adanya asas kebebasan berkontrak tetap tidak boleh melanggar
syarat-syarat sahnya perjanjian dalam KUHPerdata. Syarat sah perjanjian
dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1320 – Pasal 1337 KUHPerdata. Lebih jauh dapat di simak dalam artikel Hukum Perjanjian.
Irma Devita dalam artikel berjudul Perbedaan Akta Otentik dengan Surat di Bawah Tangan yang dimuat di irmadevita.com, menulis bahwa akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa:
1. Bentuknya yang bebas
2. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum
3. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya
4. Dalam
hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga
dengan saksi-saksi dan bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam
akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan dua orang saksi yang sudah
dewasa untuk memperkuat pembuktian.
Dengan
demikian, selama para pihak melakukan suatu perbuatan hukum untuk
melakukan perjanjian kredit di bawah tangan, maka perjanjian kredit
tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti undang-undang
bagi para pihak yang membuatnya.
2. Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Akta Notaris adalah akta otentik
yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam undang-undang. Dari pengertian tersebut, maka
dapat disimpulkan ada dua macam/golongan akta notaris, yaitu:
1. Akta yang dibuat oleh notaris (akta relaas atau akta pejabat);
Yaitu
akta yang dibuat oleh notaris memuat uraian dari notaris suatu tindakan
yang dilakukan atas suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh
notaris, misalnya akta berita acara/risalah rapat RUPS suatu perseroan
terbatas, akta pencatatan budel, dan lain-lain.
2. Akta yang dibuat di hadapan notaris (akta partij).
Yaitu
akta yang dibuat di hadapan notaris memuat uraian dari apa yang
diterangkan atau diceritakan oleh para pihak yang menghadap kepada
notaris, misalnya perjanjian kredit, dan sebagainya.
Mengenai kekuatan sebuah akta otentik, menurut Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., dalam buku “Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek”, akta otentik mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan, yakni:
a) kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang tertulis dalam akta tersebut;
b) kekuatan
pembuktian materiil, membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar
peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
c) Kekuatan
mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga bahwa pada
tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap
kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta
tersebut.
Peranan
akta otentik dalam pemberian kredit di bank sangat penting, karena
mempunyai daya pembuktian kepada pihak ketiga, yang tidak dipunyai oleh
akta di bawah tangan. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai kelemahan
yang sangat nyata yaitu orang yang tanda tangannya tertera dalam akta
di bawah tangan dapat mengingkari keaslian tanda tangan itu.
Pada sisi lain, menurut Hilman Tisnawan, analis hukum senior Bank Indonesia, artikel berjudul “Akta Otentik Dalam Pembuatan Perjanjian Kredit” yang dimuat dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
(hal. 31-35), dalam praktik di perbankan, penggunaan akta di bawah
tangan lazim digunakan terutama untuk pemberian kredit yang nilai
nominalnya relatif kecil.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Burgerlijk Wetboek,Staatsblad 1847 No. 23)
0 komentar:
Posting Komentar