• Home
  • Senin, 19 November 2012

    Kendala Usaha ternak Sapi

    Kendala Pengembangan Usaha Ternak Sapi


    Oleh Ariyanto Jafar. S.Pt   
    Jumat, 19 November 2012 14.45

    Peternakan sapi di Indonesia umumnya berada dalam sistem usahatani rumahtangga.  Hampir sebagian besar usaha ternak sapi dilakukan oleh petani atau peternak dengan skala usaha kecil.  Rumah tangga petani sebagai produsen produk pertanian secara umum,  berada dalam skala usaha kecil, tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi sehingga membutuhkan sumber penerimaan lain dari off farm atau non farm. Ini merupakan salah satu alasan ternak menjadi salah komponen pendukung usahatani. Ternak sapi merupakan pilihan utama bagi petani (jika mereka memiliki modal yang cukup) dijadikan sebagai tabungan, investasi atau  penyedia modal usaha terutama usahatani subsisten.
    Jumlah kepemilikian ternak sapi dalam satu rumahtangga petani tidak banyak  hanya sekitar 2-5 ekor.  Keterbatasan petani hanya mampu untuk memelihara pada jumlah yang kecil.  Skala usaha yang besar tentu membutuhkan modal yang lebih besar pula.  Keterbatasan pemilikan sapi tiap rumahtangga petani mengindikasikan jumlah populasi ternak sapi cenderung mengukuti perubahan jumlah rumahtangga petani.    Keeratan hubungan antara populasi ternak sapi dengan jumlah rumah tangga petani menjadi tolok ukur dinamika populasi ternak sapi.
    Program  swasembada daging sapi  dengan penekanan pada peningkatan populasi untuk meningkatkan produktivitas belum cukup.  Kendala perkembangan populasi ternak sapi tidak hanya disebabkan oleh serangan penyakit menular, mortalitas yang tinggi atau gangguan reproduksi, tetapi bagaimana merubah kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani untuk dapat meningkatkan jumlah sapi yang dimiliki atau yang dipeliharanya. Pendekatan secara teknis untuk meningkatkan produktivitas perlu dengan pertimbangan kemampuan sebuah rumahtangga untuk menambah jumlah ternak sapinya. Dengan demikian ada peluang peningkatan populasi yang lebih signifikan.
    Secara teknis seorang petani atau peternak mampu memelihara ternak sapi dengan baik dan ternak dapat berproduksi optimum; tetapi ketika mereka berhadapan dengan sistem manajemen rumahtangganya, maka mereka berhadapan persoalan yang sangat kompleks dalam usahataninya. Hal ini terkait dengan alokasi sumberdaya yang dimiliki yaitu sumber daya manusia (tenaga kerja keluarga) dan sumberdaya finansial (modal). Untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga petani harus membagi waktu untuk bekerja di lahan pertanian, beternak dan usaha lain di luar pertanian.  Semakin banyak usaha yang dilakukan maka semakin kompetitif penggunaan sumberdaya tersebut dan menjadi pertimbangan penting untuk menentukan keputusan dari setiap langkah yang harus  dilakukan.
    Selama ini kondisi seperti di atas belum dianggap penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan  siapa yang layak sebagai penerima bantuan ternak.  Perlu dilakukan kajian mendalam dan evaluasi untuk dapat menjadi pertimbangan dalam pemberian bantuan. Ketika sapi menjadi bagian dalam usahatani, maka akan terjadi perubahan dalam manajemen rumahtangga petani.   Waktu yang digunakan untuk memelihara sapi akan mengurangi waktu untuk bekerja di tempat lain, dan hal ini mempengaruhi pendapatan rumahtangga. Petani akan mempertimbangkan seberapa pengorbanan yang memberikan hasil atau pendapatan; ini berpengaruh pada perhitungan upah yang berkurang, jika dibandingkan dengan hasil ternak sapi yang diperoleh.  Jika menguntungkan, maka peluang untuk  pengembangan usaha ternak sapi makin besar.  Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka tujuan pengembangan tidak akan tercapai karena ternak-ternak dijual, karena petani tidak mampu memelihara dan mengembangkannya.
    Dalam program jangka pendek pengembangan peternakan sapi belum bisa beranjak dari peternakan rakyat, karena sebagian besar masih dilakukan oleh petani dan peternak skala kecil. Pengembangan usaha ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tentu diharapkan adanya peningkatkan populasi ternak sapi. Jika demikian kondisinya maka pesimis tujuan dapat tercapai sesuai dengan harapan. Perlu kajian yang mendalam dan evaluasi bertahap, sehingga perbaikan dapat dilakukan secepatnya. Pengalaman kegagalan dari program sebelumnya menjadi bahan evaluasi untuk dapat diperbaiki pada progam berikutnya.

    0 komentar: