• Home
  • Selasa, 20 November 2012

    Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan



    Tinjauan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan


    Abstract

    Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan Hukum Kekayaan/harta benda antara dua atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi. Perjanjian atau perikatan diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Kredit adalah: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dalam praktek perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada Bank yang bersangkutan. Dalam prakteknya perjanjian kredit perbankan sering memakai perjanjian baku (standard contract) atau klausula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kosumen. Notaris selaku pejabat umum pembuat akta perjanjian kredit baik perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan maupun perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris (Notariil) atau akta otentik seharusnya dapat berperan agar dapat mewujudkan kesetaraan antara kepentingan kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit perbankan. Melihat lemahnya posisi nasabah bank dalam pemberian fasilitas kredit, perlindungan hukum bagi nasabah terutama nasabah bank yang posisinya lemah menjadi sangat penting. Namun kenyataan kita sulit untuk menemukan aturan yang tegas tentang perlindungan hukum bagi nasabah bank, terutama tentang penggunaan perjanjian baku dalam bisnis bank. Untuk mengkaji permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian yang bersifat Yuridis Normatif. Sumber data diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Metode penelitian yang digunakan adalah melalui studi kepustakaan serta wawancara, sedangkan analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Dengan sudah makin banyaknya digunakan perjanjian-perjanjian baku dalam transaksi-transaksi bisnis di Indonesia termasuk lembaga perbankan, seyogianya mendorong untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada aturan-aturan dasar yang harus dipatuhi oleh semua pihak dalam menggunakan perjanjian baku. Salah satunya yang menjadi tolak ukur guna menentukan apakah substansi suatu klausul dalam perjanjian baku merupakan suatu klausul yang dilarang karena sangat memberatkan bagi pihak lain adalah larangan tercantum dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu “suatu kausa adalah terlarang, apabila kausa itu dilarang oleh undang-undang, atau bertentangan dengan moral atau dengan ketertiban umum” dan yang tercantum dalam Pasal 1339 KUHPerdata yaitu “ persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat dari persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” . Notaris mempunyai kedudukan mandiri dan tidak memihak di dalam menjalankan jabatannya. Sebagai pejabat pembuat akta perjanjian kredit bank, maka notaris hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh satu pihak, karena notaris dianggap mitra atau rekanan dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang, bank akan meminta notaris untuk berpedoman kepada model perjanjian kredit yang telah ditetapkan bank. Peranan notaris untuk mewujudkan kesetaraan terkait pada cara bagaimana perjanjian terbentuk, dan tidak pada hasil akhir dari prestasi yang ditawarkan secara timbal balik. Kedudukan Kreditur dan debitur dapat setara dalam perjanjian kredit perbankan, apabila ada debitur kuat, yaitu debitur yang mempunyai pinjaman yang besar pada bank, posisi debitur akan berubah menjadi pihak yang mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendaknya dalam membuat perjanjian dan menentukan isi perjanjian bahkan untuk mengakhiri suatu perjanjian kredit tersebut. Melihat begitu besarnya risiko yang dapat terjadi apabila kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan merosot, tidak berlebihan apabila usaha perlindungan konsumen jasa perbankan mendapat perhatian yang khusus. Dalam rangka usaha melindungi konsumen secara umum, dan dengan adanya Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum yang kuat, baik untuk pemerintah maupun masyarakat itu sendiri secara swadaya untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen. Dalam rangka pemberdayaan konsumen jasa perbankan, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bertanggung jawab sebagai pelaksana otoritas moneter sangat diharapkan mempunyai kepedulian. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan konsumen, tetapi tidak melemahkan kedudukan bank. Disarankan agar ketentuan khusus tentang perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian kredit dapat diundang-undangkan sebagai pedoman perjanjian kredit bank bagi masyarakat Indonesia. Agar pihak Bank dapat mengikut sertakan notaris sebagai pembuat akta perjanjian kredit bank dalam perundingan atau perubahan klausul-klausul perjanjian kredit bank sehingga dapat terwujud keseimbangan antara kepentingan debitur dan kreditur. Agar hak-hak konsumen khususnya dalam perjanjian kredit bank dapat terpenuhi, maka perlu dibentuk lembaga Mediasi yang khusus menangani sengketa perbankan.

    0 komentar: