• Home
  • Selasa, 20 November 2012

    PELANGGARAN-PELANGGARAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA

    PELANGGARAN-PELANGGARAN HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA

    PELANGGARAN - PELANGGARAN HUKUM DALAM PERJANJIAN  KREDIT DENGAN  JAMINAN  FIDUSIA 

    Oleh : Unan Pribadi, SH.
    (Kepala Sub Bidang Pelayanan Hukum Umum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM DIY)

    “ Secara jenaka ada yang mengartikan bank sebagai institusi yang bersedia memberikan payung kepada seseorang ketika cuaca baik, tetapi segera memintanya kembali ketika hujan mulai turun (Munir Fuady, SH.,MH.,LLM.)”.

     P E N D A H U L U A N
    Salah satu aktifitas dalam dunia perbankan maupun lembaga keuangan lainnya adalah pemberian kredit kepada nasabah. Pemberian kredit ini merupakan salah satu bentuk usaha bank untuk mendapatkan keuntungan dari dana yang dimiliki bank yang telah berhasil dihimpun dari pihak lain melalui layanan berbentuk tabungan, giro, maupun deposito berjangka.
    Pengucuran kredit yang dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya pasti mengandung suatu risiko. Oleh karenanya, perjanjian kredit harus ditopang suatu lembaga jaminan yang fungsinya untuk keamanan pemberian kredit, yang mana jika debitur tidak memenuhi prestasinya secara sukarela maka kreditur mempunyai hak untuk menuntut piutangnya terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur tersebut dilakukan dengan cara penjualan benda-benda jaminan di mana hasilnya adalah untuk pemenuhan hutang debitur (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980 : 31). Tanpa adanya lembaga jaminan dalam suatu perjanjian kredit, niscaya pihak kreditur akan kesulitan untuk mendapatkan pelunasan pinjamannya dari pihak debitur manakala pihak debitur melakukan wanprestasi.
    Dewasa ini, lembaga jaminan yang banyak diterapkan dalam perjanjian kredit adalah hipotik atau hak tanggungan, gadai dan jaminan fidusia. Lembaga jaminan hipotik digunakan apabila obyek jaminan atau agunannya adalah benda tetap (benda tidak bergerak). Sedangkan apabila obyek agunannya adalah benda-benda bergerak maka dapat diikat dengan gadai atau dengan jaminan fidusia.
    Lembaga jaminan fidusia sebagai suatu perjanjian  accessoir dari perjanjian utang piutang (perjanjian kredit) merupakan perkembangan dari lembaga jaminan gadai. Perbedaan prinsipil antara lembaga jaminan gadai dengan lembaga jaminan fidusia terletak pada aspek “penguasaan atas obyek jaminannya”. Pada lembaga gadai, obyek jaminan diserahkan dan dikuasai oleh pihak penerima gadai (kreditur), sedangkan dalam perjanjian jaminan fidusia, obyek jaminan tetap dikuasai oleh pihak pemberi fidusia (debitur). Perbedaan tersebut merupakan kelebihan jaminan fidusia dibandingkan gadai karena obyek jaminan tetap dapat dimanfaatkan oleh debitur untuk kegiatan usahanya.
    Pada awalnya, ketentuan hukum tentang lembaga jaminan fidusia di Indonesia hanya mendasarkan pada jurisprudensi saja. Namun mengingat lembaga jaminan fidusia semakin banyak digunakan dalam kegiatan bisnis, pemerintah akhirnya campur tangan dengan membuat regulasi dalam bentuk undang-undang untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum baik bagi pihak kreditur maupun pihak debitur.
    Pada saat ini lembaga jaminan fidusia telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam undang-undang tersebut telah diatur ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan ditaati dalam melakukan perjanjian jaminan fidusia, termasuk diantaranya adalah ketentuan yang mewajibkan untuk mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia ( Pasal 11 ayat (1) jo. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 ).
    Sejak diundangkan pada tanggal 30 September 1999, dalam praktek pemberian kredit dengan jaminan fidusia yang seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ternyata masih banyak terjadi pelanggaran, sebagai salah satu contohnya adalah masih banyak pihak bank maupun lembaga pembiayaan (finance) yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Beranjak dari fenomena itu, penulis tertarik membahas permasalahan tersebut dengan topik permasalahan : “ Pelanggaran-pelanggaran hukum apa yang terjadi dalam praktek perjanjian kredit dengan obyek jaminan fidusia pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ? ”

    P E M B A H A S A N
    Dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh perbankan, pihak bank harus bertindak hati-hati dengan memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat yaitu dengan memperhatikan kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum mengucurkan kreditnya pihak bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha pihak calon nasabah (Widjanarto, 1997 : 67).
    Apabila yang menjadi obyek agunan adalah berupa benda bergerak maka dapat diikat dengan perjanjian jaminan fidusia. Dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, bank harus bertindak sangat hati-hati khususnya dalam hal bonafiditas calon debitur karena barang-barang bergerak yang dijaminkan secara fidusia tetap dikuasai oleh debitur. Oleh karenanya, berhasil atau gagalnya bentuk jaminan fidusia itu semata-mata tergantung pada bonafiditas dan itikad baik pihak debitur (Widjanarto : 71).
    Pengertian fidusia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) ciri fidusia yaitu :
    1.      Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;
    2.      Atas dasar kepercayaan;
    3.      Benda itu tetap dalam penguasaan pemilik benda (J. Satrio, 2002 : 159).
    Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 diatur mengenai pengertian Jaminan Fidusia yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
    Adapun yang dapat dijadikan obyek jaminan fidusia adalah sebagai berikut :
    a.       Benda bergerak yang berwujud seperti benda dagangan, inventory (benda dalam persediaan), peralatan mesin, kendaraan bermotor dll.;
    b.      Benda bergerak yang tidak berwujud termasuk saham, piutang;
    c.       Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan, misalnya bangunan milik debitur yang berdiri di atas tanah milik orang lain atau tanah hak pakai dari pihak lain.
    Terhadap pembebanan dengan jaminan fidusia harus memenuhi ketentuan :
    1.      Harus dibuat dengan akta Notaris dan dengan bahasa Indonesia (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999);
    2.      Akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat :
    a.       Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
    b.      Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
    c.       Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
    d.      Nilai penjaminan; dan
    Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999).
    Setiap benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Adapun pihak yang wajib mendaftarkan adalah pihak penerima fidusia (kreditur) atau kuasa atau wakilnya. Kantor Pendaftaran Fidusia akan mencatat jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran jaminan fidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia pada Buku Daftar Fidusia adalah dianggap sebagai tanggal lahirnya jaminan fidusia.
    Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dalam implementasinya masih terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh pihak kreditur (penerima fidusia) maupun oleh pihak debitur (pemberi fidusia). Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan oleh kreditur adalah sebagai berikut :
    1.      Kreditur tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia.
    Pelanggaran ini biasanya dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maupun bank umum untuk nilai pinjamannya kecil. Dalam hal ini pihak bank sudah siap menanggung resiko jika terjadi kredit macet. Lembaga Pembiayaan (finance) juga banyak yang tidak mendaftarkan jaminan fidusianya dengan alasan demi efisiensi dalam menghadapi persaingan dengan lembaga pembiayaan lainnya.
    Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 sudah mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak berlaku, dengan kata lain untuk berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia maka harus dipenuhi bahwa benda jaminan fidusia itu didaftarkan. Kreditur yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak bisa menikmati keuntungan-keuntungan dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang jaminan fidusia seperti misalnya hak preferen atau hak didahulukan (J. Satrio, 242 -243). Konsekwensi lain dengan tidak didaftarkannya suatu obyek jaminan fidusia adalah apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak bisa langsung melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia namun harus menempuh gugatan secara perdata di pengadilan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka baru dapat dimintakan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia.
    2.      Pendaftaran fidusia dilakukan setelah debitur wanprestasi.
    Pelanggaran ini masih banyak dilakukan oleh lembaga pembiayaan (finance) dengan alasan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pada saat debitur mulai wanprestasi, perusahaan finance baru mendaftarkan obyek jaminan fidusia dalam rangka untuk memenuhi persyaratan untuk melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia. Pemicu tindakan lembaga finance ini dikarenakan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak diatur ketentuan mengenai daluarsa pendaftaran jaminan fidusia sehingga Kantor Pendaftaran Fidusia tidak punya alasan untuk menolak permohonan pendaftaran fidusia yang perjanjian kreditnya sudah ditandatangani dalam waktu yang lama (biasanya 2 -3 tahun sebelum didaftarkan).
    Walaupun tidak ada aturan mengenai daluarsa pendaftaran jaminan fidusia, namun dalam Pasal 14 sub 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah diatur bahwa jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana tercatat dalam Buku Daftar Fidusia. Oleh sebab itu, apabila ada perjanjian kredit yang dibuat beberapa tahun yang lalu namun pendaftaran jaminan fidusianya baru dilakukan belakangan maka berlakunya jaminan fidusia itu adalah pada saat didaftarkan bukan pada saat perjanjian kredit ditandatangani atau pada saat penandatanganan akta notariil. Konsekwensinya adalah peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi sebelum pendaftaran jaminan fidusia tidak berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.
    3.  Perjanjian  kredit  yang diikat dengan jaminan fidusia namun obyeknya bukan merupakan obyek jaminan fidusia, seperti misalnya hak sewa, hak pakai maupun sewa beli (leasing). Hal ini lebih dikarenakan ketidaktahuan kreditur terhadap aspek hukum tentang jaminan fidusia. Benda yang merupakan obyek sewa-menyewa, hak pakai atau sewa beli bukan merupakan hak kebendaan sehingga bukan merupakan obyek jaminan fidusia sehingga tidak dapat didaftar di Kantor Pendaftaran Fidusia. Karena bukan merupakan obyek jaminan fidusia, maka apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak mempunyai hak preferen dan tidak dapat melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.
    4.   Kreditur melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia tidak sesuai ketentuan Pasal 29 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.
    Apabila debitur wanprestasi dengan tidak melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan, maka dapat dilakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang telah didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia guna pelunasan utang tersebut. Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diatur mengenai cara melakukan eksekusi yaitu :
    1. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.
    Dalam sertifikat jaminan fidusia terdapat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
    1. Penjualan benda obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum;
    2. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia untuk memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak.
    Dalam hal eksekusi dilakukan dengan penjualan di bawah tangan maka boleh dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan minimal dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Prosedur inilah yang sering dilanggar oleh lembaga pembiayaan (finance) dalam melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan. Biasanya Finance akan menggunakan jasa debt collector yang langsung mendatangi debitor dan mengambil kendaraan obyek jaminan dan kemudian oleh finance akan menjualnya kepada pedagang yang sudah menjadi relasinya. Hasil penjualan tidak diberitahukan kepada debitur apakah ada sisa atau masih ada kekurangan dibandingkan dengan hutang debitur.
    Terhadap eksekusi yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 berakibat eksekusi tidak sah sehingga pihak pemberi fidusia (debitur) dapat menggugat untuk pembatalan.
    Selain dilakukan oleh pihak kreditur, pelanggaran hukum terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 juga dapat dilakukan oleh pihak debitur. Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan debitur adalah sebagai berikut :
    1.      Debitur menjaminkan lagi obyek jaminan fidusia (Fidusia ulang)
    Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia melarang adanya tindakan fidusia ulang sebagaimana diatur dalam Pasal 17. Ketentuan ini dibuat dalam rangka untuk melindungi kepentingan pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada debitur dan obyek jaminannya tetap dikuasai oleh debitur. Ketentuan tersebut sangat logis karena atas obyek jaminan fidusia dimaksud hak kepemilikannya telah “beralih” dari pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia (kreditur) sehingga tidak mungkin lagi dijaminkan kepada pihak lain. Apabila atas benda yang sama menjadi obyek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya di Kantor Pendaftaran Fidusia (pasal 28).
    1.      Pemberi fidusia (debitur) menggadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan fidusia tanpa seijin penerima fidusia (kreditur).
    Tindakan ini biasanya dilakukan oleh debitur yang telah mendapatkan pembiayaan dari perusahaan finance untuk pembelian kendaraan bermotor, di mana hutangnya belum lunas tapi kendaraannya telah digadaikan secara di bawah tangan kepada pihak ketiga.
    Terhadap perbuatan tersebut, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mengatur ancaman pidana bagi debitur yang mengadaikan atau mengalihakan obyek jaminan fidusia tanpa seijin kreditur yaitu diancam pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
    2.      Debitur mengubah dan atau mengganti isi dari benda yang menjadi obyek jaminan sehingga kualitasnya menjadi turun (jelek). Misalnya mengganti onderdil kendaraan bermotor dengan onderdil palsu atau onderdil bekas.
    Perbuatan debitur tersebut tidak dapat dibenarkan karena pada saat ditandatanganinya perjanjian kredit dan perjanjian jaminan fidusia, hak kepemilikan atas obyek jaminan fidusia telah “beralih” dari pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia (kreditur), sehingga pemberi fidusia (debitur) hanya “dianggap sebagai penyewa” yang mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan memakai obyek jaminan yang dikuasainya dengan baik.

    K E S I M P U L A N
    Dalam praktek pemberian kredit dengan jaminan fidusia, ternyata masih banyak pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 walaupun undang-undang tersebut telah berlaku lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Pelanggaran dimaksud dilakukan oleh pihak debitur maupun pihak kreditur. Terhadap pelanggaran hukum terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia membawa akibat hukum baik yang bersifat pidana maupun non pidana.

    DAFTAR  PUSTAKA
    Fuady Munir, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1994.
    Satrio J., Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2002.
    Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset Yogyakarta, 1980.
    Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti Jakarta, 1997.

    DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
    Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
    Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia.
    Keputusan Presiden Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia  di Setiap Ibukota Propinsi di Wilayah Negara Republik Indonesia.

    0 komentar: