ASPEK HUKUM GARANSI BANK
Oleh
ESTHER DWI MAGFIRAH
PENDAHULUAN
Dalam suatu
aktivitas bisnis, masalah pembiayaan menempati posisi yang signifikan. Tanpa
kelancaran transaksi finansial, kinerja pelaku usaha akan mengalami hambatan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, para pihak yang terlibat dalam satu
transaksi bisnis kerap kali mengikutsertakan pihak ketiga untuk menjamin
likuiditas dana. Guna mengakomodasi kepentingan itulah, pelaku bisnis
memanfaatkan jasa lembaga keuangan seperti perbankan.
Salah satu jasa
lembaga perbankan dalam menunjang aktivitas bisnis tersebut adalah bank
garansi. Penerbitan bank garansi merupakan salah satu jasa layanan yang
ditawarkan perbankan untuk membantu kelancaran dunia usaha. Jasa layanan
perbankan tersebut selaras dengan amanat pasal 1 butir 2 Undang – Undang
Perbankan, yang menyebutkan bahwa
Bank umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Artikel ini akan
mendeskripsikan secara singkat tentang eksistensi lembaga garansi bank dalam
menunjang kelancaran aktivitas bisnis.
GARANSI BANK
Istilah garansi
berasal dari bahasa Inggris guarantee atau guaranty yang berarti
menjamin atau jaminan.
Pasal 1 butir 1
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (SKBI) No. 11 / 110 / Kep / Dir / UPPB
tanggal 28 maret 1979 tentang pemberian Jaminan oleh Bank dan Pemberian jaminan
oleh lembaga keuangan bukan Bank, menyebutkan :
Jaminan adalah warkat yang diterbitkan oleh bank atau lembaga keuangan
bukan bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima
jaminan apabila jaminan pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi).
Dalam garansi
bank, ada tiga pihak yang terlibat yaitu :
1. Pihak penjamin
: pihak yang memberikan
jaminan (pihak bank)
2. Pihak terjamin
: pihak yang dijamin
(nasabah)
3. Pihak penerima
jaminan : pihak yang menerima
jaminan
Jadi, garansi
bank merupakan suatu perjanjian tertulis yang isinya bank menyetujui untuk
mengikatkan diri kepada penerima jaminan guna memenuhi kewajiban terjamin dalam
suatu jangka waktu tertentu dan dengan syarat – syarat tertentu berupa
pembayaran sejumlah uang tertentu apabila terjamin di kemudian hari ternyata
tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan.
Atas pemberian
garansi bank trsebut, maka bank akan menerima fee dari terjamin berupa
sejumlah uang tertentu yang disebut provisi. Jumlah provisi ini dihitung atas
dasar prosentase tertentu dari jumlah garansi bank untuk jangka waktu tertentu
pula (Anwari, 1981 : 9)
PERJANJIAN GARANSI
Kesepakatan
pemberian garansi bank oleh perbankan kepada terjamin dituangkan dalam suatu
perjanjian yang disebut perjanjian bank garansi vide pasal 1824 KUH Perdata,
pasal tersebut menentukan bahwa penaggungan (jaminan) harus ditentukan secara
tegas meski tidak harus secara tertulis. Namun sebagaimana lazimnya, suatu
perjanjian perbankan selalu dituangkan dalam bentuk akta tertulis untuk
menjamin kepentingan hukum para pihak. Berdasarkan surat perjanjian garansi
bank tersebut bank akan memberikan surat garansi bank kepada terjamin untuk
diserahkan kepada penerima jaminan.
Menurut Anwari
(1981 : 26) Surat Perjanjian Garansi Bank memuat syarat minimal sebagai berkut
:
1. Tujuan penggunaan garansi bank
2. Jumlah tertinggi garansi bank
3. Tanggal mulai berlaku serta jangka
waktu garansi bank
4. Tempat kedudukan (domisili) terjamin
dan bank
5. Macam jaminan lawan yang diserahkan
oleh jaminan kepada bank serta nilainya
6. Terjamin tunduk kepada ketentuan –
ketentuan dan peraturan – peraturan tentang pemberian
garansi bank yang ditetapkan oleh bank
7. Terjamin tunduk kepada intruksi –
intruksi dan peraturan – peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan bank indonesia serta kelaziman perbankan
8. Biaya garansi bank yang harus dibayar
oleh terjamin
9. Terjamin memberi kuasa yang tak dapat
dicabut kembali kepada bank untuk sewaktu – waktu
mencairkan jaminan lawan guna melunasi hutang terjamin sebagai akibat dilaksanakannya pembayaran garansi bank maupun
hutang lainnya yang timbul sehubungan
dengan pemberian garansi bank tersebut.
SKBI No. 11 /
110 tahun 1979 tidak memberikan definisi tentang perjanjian garansi bank. SKBI
tersebut hanya menentukan hal – hal minimal yang harus dipenuhi dalam satu
garansi bank.
Pasal 2 butir 2
SKBI mengatur syarat minimal dalam garansi bank sebagai berikut :
1. Judul garansi bank atau
bank garansi
2. Nama dan alamat bank
pemberi garansi
3. Tanggal penerbitan
garansi bank
4. Transaksi antar pihak
yang dijamin dengan penerimaan jaminan
5. Jumlah uang yang dijamin oleh bank
6. Tanggal mulai berlaku dan berakhirnya garansi bank
7. Penegasan batasn waktu
klaim
8. Pernyataan bahwa penjamin (bank)
akan memenuhi pembayaran denganterlebih dahulu menyita
dn menjual benda – benda terjamin (nasabah) untuk melunasi hitungannya sesuai dengan pasal 1831KUHPerdata,
atau pernyataan bahwa penjamin (bank) melepaskan
bank istimewanya untuk menuntut supaya benda – benda terjamin (nasabah) lebih dahulu disita dan dijual
untuk melunasi hutangnya vide pasal 1832 KUHPerdata.
Pasal 2 butir 3
SKBI menentukan hal yang tidak dimuat dalam garansi bank sebagai berikut :
1.
Syarat – syarat yang
terlebih dahulu harus dipenuhi untuk berlakunya garansi bank
2.
Ketentuan bahwa garansi
bank dapat diubah atau dibatalkan secara sepihak
Sebagaimana
diketahui, lembaga perbankan diwajibkan untuk bersikap selektif dalam melakukan
aktivitas untuk meminimalisasi risiko. Berdasarkan prudential banking
(prinsip kehati – hatian bank), dalam pemberian garansi bank, garansi harus
melakukan penilaian secara seksama terhadap calon nasabah. SEBI No.
11 / 11 UPPB tanggal 28 Maret 1979,
mengharuskan bank untuk :
1.
Meneliti bonafiditas
pihak yang dijamin
2.
Meneliti sifat dan
menilai transaksi yang akan dijamin sehingga dapat diberikan jaminan yang
sesuai
3.
Menilai jumlah jaminan
yang akan diberikan bank
4.
Menilai kemampuan pihak
yang akan dijamin untuk memberikan kontra jaminan yang cukup sesuai dengan
kemungkinan terjadinya resiko.
Menurut Munir Fuady (1997 : 202) untuk membatasi risiko
dalam penerbitan garansi bank, pihak bank mensyaratkan adanya jaminan lawan (counter
garanty) yang nilainya ditentukan oleh kebijakan bank namun biasanya setara
dengan nilai jaminan yang tercantum dalam garansi bank. Jaminan lawan tersebut
tidak harus dalam bentuk uang tunai, melainakn bias berupa giro, deposito,
surat – surat berharga, atau lainnya yang dianggap aman oleh bank
Tabel 1
Jumlah nilai Masing _ masing Jenis Counter Garanty
Jumlah Jaminan Lawan
|
Nilai
Garansi
|
1. Uang tunai
yang disetor ke bank
2. Dana giro
yang dibekukan
3. Deposito
4. Surat – surat
berharga
5. Barang
bergerak
6. Barang tidak
bergerak
7. Harta tak
berwujud seperti tagihan dan hal lain yang sifatnya serupa dengan itu
8. Harta kekayaan lain yang dapat
diterima oelh bank
9. Performance bond, bid bond dan
advance payment bond
|
100 %
100 %
100 %
100 %
150%
150%
150%
150%
<nilai garansi
bank
|
Sumber
: Anwari, 1981 : 23
ASPEK HUKUM GARANSI BANK
Sebagaimana
diuraikan di atas, bahwa garansi bank diterbitkan oleh perbankan untuk meminjam
pelaksanaan prestasi yang dijanjikan terjamin kepada penerima jaminan apabila
terjamin tidak melakukan prestasi tersebut. Dengan demikian, lembaga garansi
bank merupakan bentuk dari perjanjian penanggungan ( borghtoch ) yang diatur dalam Buku
III KUHPerdata dalam pasal 1820 – 1850 KUHPerdata.
Pasal 1820 KUHPerdata menyebutkan
bahwa :
Penanggungan adalah
suatu perjanjian dengan nama seorang pihak ketiga guna kepentingan si
berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatnya si berhutang manakala
orang ini sendiri tak memenuhinya.
Sebagaimana
perjanjian jaminan pada umumnya, perjanjian garansi bank merupakan perjanjian assesoir
( perjanjian tambahan ) yang menyertai suatu perjanjian pokok. Perjanjian
pokok yang dibuat oleh pihak terjamin dan penerima jaminan merupakan dasar dari
dibuatnya perjanjian garansi bank.
Berdasarkan
ketentuan pasal 1820 – 1821 KUHPerdata, ada beberapa karakteristik dari
perjanjian penanggungan sebagai berikut :
1.
Perjanjian garansi bersifat assesoir.
2.
Hak – hak yang terbit
dari suatu garansi bersifat kontraktual bukan hak kebendaan.
3.
Kedudukan kreditur bersifat konkuren.
4.
Gurantor merupakan target setelah debitor.
5.
Garansi tidak bisa
dipersangkakan ( Fuady, 1997: 200 ).
Akibat – akibat hukum yang timbul dari suatu perjanjian
jaminan antara penjamin dan penerima jaminan diatur dalam 1831 – 1838
KUHPerdata sedangkan akibat – akibat hukum yang muncul antara penjamin dan
terjamin ditentukan dalam pasal 839 – 1844 KUHPerdata.
Ketentuan tentang perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata,
termasuk ketentuan mengenai perjanjian jaminan ( penaggungan hutang ) dalam
pasal 1820 – 1850 KUHPerdata menganut sistem terbuka. Para pihak bebas
menentukan sendiri isi perjanjian diantara mereka. Peraturan dalam hukum
perjanjian bersifat pelengkap yang berarti ketentuan tersebut disediakan oleh
pembentuk undang – undang untuk dipergunakan oleh para pihak yang membuat
perjanjian apabila ternyata mereka kurang lengkap atau belum mengatur suatu hal
tertentu.
Dalam pelaksananan perjanjian garansi bank, apabila
terjamin tidak melakukan kewajibannya kepada penerima jaminan maka pihak bank
yang harus menunaikan kewajiban tersebut dengan membayar sejumlah uang seperti
yang tertera dalam garansi bank.
Dengan dilaksanakannya pembayaran garansi bank kepada penerima jaminan,
maka jumlah yang dibayarkan itu menjadi hutang terjamin kepada bank. Pihak bank
akan segera mencairkan counter garanty yang telah diberikan terjamin
untuk membayar kembali dana yang diserahkan bank kepada pihak penerima jaminan.
Apabila langkah tersebut masih menyisakan hutang bagi terjamin kepada pihak
bank maka terjamin harus membayar hutang tersebut dalam suatu jangka waktu
tertentu. Apabila dalam durasi waktu yang telah ditentukan, terjamin tidak
melunasi hutangnya maka hubungan hukum antara penjamin (bank ) dengan terjamin
(nasabah) berubah menjadi hubungan kreditor dengan debitor dalam suatu
perjanjian kredit biasa. Berdasarkan hal ini, maka diantara terjamin dan bank
dibuat akta perjanjian kredit untuk jangka waktu yang ditentukan pihak bank.
PENUTUP
Kebutuhan akan
likuiditas dana dalam bisnis akan sangat mempengaruhi kelancaran aktivitas
usaha. Adanya kepastian pencairan transaksi kuangan dari pihak perbaankan
melalui penerbitan garansi bank memberikan kontribusi yang urgen bagi
kesinambungan kinerja dunia usaha.
Eksistensi lembaga keuangan seperti perbankan dalam
sistem perekonomian adalah untuk menghimpun dan menyalurkan dana dari dan untuk
masyarakat termasuk kalangan dunia bisnis. Namun dalam pelaksanaannya pihak
perbankan harus tetap tegas pada prinsip prudential banking untuk
meminimalisasi resiko bagi pihak bank c.q dana masyarakat tanpa harus
mengurangi efisiensi dan efektifitas penyaluran dana termasuk dalam penerbitan
garansi bank bagi pelaku bisnis yang memerlukan fasilitas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Anwari, 1981, Garansi Bank Menjamin Usaha
Anda, Aksara Pustaka, Jakarta.
______________, 1985, Himpunan Peraturan Garansi Bank,
UPN, Jakarta.
Munir Fuady, 1997, Pembiayaan Perusahan Masa Kini
(Tinjauan Hukum Bisnis), Citra Aditya, Bandung.
Subekti Dan Tjitrorosudibyo, 1992, Kitab Undang – Undang
Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
Bank
Indonesia, Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 11 / 110 / Kep / Dir
/ UPPD, 28 Maret 1979.
Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia No.
11 / 11 / UPPD, 28 Maret 1979.
0 komentar:
Posting Komentar