Tinjauan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan
Abstract
Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu
hubungan Hukum Kekayaan/harta benda antara dua atau lebih, yang memberi
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi. Perjanjian atau
perikatan diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian,
yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut
Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Kredit adalah:
“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dalam praktek
perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya
kepada Bank yang bersangkutan. Dalam prakteknya perjanjian kredit
perbankan sering memakai perjanjian baku (standard contract) atau
klausula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Kosumen. Notaris selaku pejabat umum pembuat akta
perjanjian kredit baik perjanjian/pengikatan kredit di bawah tangan atau
akta di bawah tangan maupun perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat
oleh dan dihadapan Notaris (Notariil) atau akta otentik seharusnya dapat
berperan agar dapat mewujudkan kesetaraan antara kepentingan kreditur
dan debitur dalam perjanjian kredit perbankan. Melihat lemahnya posisi
nasabah bank dalam pemberian fasilitas kredit, perlindungan hukum bagi
nasabah terutama nasabah bank yang posisinya lemah menjadi sangat
penting. Namun kenyataan kita sulit untuk menemukan aturan yang tegas
tentang perlindungan hukum bagi nasabah bank, terutama tentang
penggunaan perjanjian baku dalam bisnis bank. Untuk mengkaji
permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian yang bersifat Yuridis
Normatif. Sumber data diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Metode penelitian yang digunakan
adalah melalui studi kepustakaan serta wawancara, sedangkan analisis
data dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Dengan sudah makin
banyaknya digunakan perjanjian-perjanjian baku dalam transaksi-transaksi
bisnis di Indonesia termasuk lembaga perbankan, seyogianya mendorong
untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada aturan-aturan dasar
yang harus dipatuhi oleh semua pihak dalam menggunakan perjanjian baku.
Salah satunya yang menjadi tolak ukur guna menentukan apakah substansi
suatu klausul dalam perjanjian baku merupakan suatu klausul yang
dilarang karena sangat memberatkan bagi pihak lain adalah larangan
tercantum dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu “suatu kausa adalah
terlarang, apabila kausa itu dilarang oleh undang-undang, atau
bertentangan dengan moral atau dengan ketertiban umum” dan yang
tercantum dalam Pasal 1339 KUHPerdata yaitu “ persetujuan-persetujuan
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat dari
persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”
. Notaris mempunyai kedudukan mandiri dan tidak memihak di dalam
menjalankan jabatannya. Sebagai pejabat pembuat akta perjanjian kredit
bank, maka notaris hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah
dibakukan oleh satu pihak, karena notaris dianggap mitra atau rekanan
dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang, bank akan
meminta notaris untuk berpedoman kepada model perjanjian kredit yang
telah ditetapkan bank. Peranan notaris untuk mewujudkan kesetaraan
terkait pada cara bagaimana perjanjian terbentuk, dan tidak pada hasil
akhir dari prestasi yang ditawarkan secara timbal balik. Kedudukan
Kreditur dan debitur dapat setara dalam perjanjian kredit perbankan,
apabila ada debitur kuat, yaitu debitur yang mempunyai pinjaman yang
besar pada bank, posisi debitur akan berubah menjadi pihak yang
mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendaknya dalam membuat
perjanjian dan menentukan isi perjanjian bahkan untuk mengakhiri suatu
perjanjian kredit tersebut. Melihat begitu besarnya risiko yang dapat
terjadi apabila kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan
merosot, tidak berlebihan apabila usaha perlindungan konsumen jasa
perbankan mendapat perhatian yang khusus. Dalam rangka usaha melindungi
konsumen secara umum, dan dengan adanya Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen; Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk
menjadi landasan hukum yang kuat, baik untuk pemerintah maupun
masyarakat itu sendiri secara swadaya untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen. Dalam rangka pemberdayaan konsumen jasa perbankan, maka Bank
Indonesia sebagai bank sentral yang bertanggung jawab sebagai pelaksana
otoritas moneter sangat diharapkan mempunyai kepedulian. Dalam konteks
inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk
perlindungan konsumen, tetapi tidak melemahkan kedudukan bank.
Disarankan agar ketentuan khusus tentang perundang-undangan yang
mengatur tentang perjanjian kredit dapat diundang-undangkan sebagai
pedoman perjanjian kredit bank bagi masyarakat Indonesia. Agar pihak
Bank dapat mengikut sertakan notaris sebagai pembuat akta perjanjian
kredit bank dalam perundingan atau perubahan klausul-klausul perjanjian
kredit bank sehingga dapat terwujud keseimbangan antara kepentingan
debitur dan kreditur. Agar hak-hak konsumen khususnya dalam perjanjian
kredit bank dapat terpenuhi, maka perlu dibentuk lembaga Mediasi yang
khusus menangani sengketa perbankan.
0 komentar:
Posting Komentar