Tinjauan Umum Hukum Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berjudul “perihal perikatan” perkataan “perikatan” (verbintenis)
mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam
buku III itu, diatur juga perihal pesetujuan atau perjanjian, yaitu
perihal perikatan yang timbul dari perbuata yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarnemng).
Tetapi, sebagian besar buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang
timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi, berisikan hukum
perjanjian.[1]
Pada
umumnya, perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat
dibuat secara lisan, dan andai kata dibuat tertulis maka perjanjian
bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Untuk
beberapa perjanjian, Undang_Undang menentukan bentuk tertentu apabila
bentuk itu tidak dituruti, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian,
bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat
pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya (bestaanwaarde) perjanjian.[2]
Pengertian
Perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III Kitab Undang- Undang Hukum
Perdata tentang “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak atau
Perjanjian”, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351, dimana ketentuan
dalam Pasal 1313 merumuskan pengertian perjanjian yang berbunyi :
“Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Ketentuan
Pasal ini kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu
dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut sebagai berikut:
a. Hanya
menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata
kerja “mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu pihak
saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling
mengikatkan diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak;
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga seharusnya dipakai istilah “persetujuan”;
c. Pengertian
perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian
kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga, padahal yang dimaksud
adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan.
Perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan
bersifat kepribadian;
d. Tanpa
menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas. Dalam rumusan
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebutkan tujuan
mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak
jelas untuk apa.[3]
Berdasarkan
kelemahan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut, maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan
defenisi perjanjian yang lebih lengkap, yaitu;
1) Subekti
“Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain,
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal”.[4]
2) Abdulkadir Muhammad
“Perjanjian
adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta
kekayaan” [5]
3) Handri Raharjo
“Perjanjian
merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari
kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan
diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya
sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga
subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya
sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut
serta menimbulkan akibat hukum”.[6]
4) R.Wirjono Prodjodikoro
“Perjanjiaan
diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara
dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanjian
untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,
sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.[7]
2. Syarat-Syarat Sah Perjanjian
Menurut
Abdulkadir Muhammad, perjanjian yang sah adalah perjanjian yang
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Perjanjian
yang sah diakui dan diberi akibat hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat-syarat sah perjanjian yaitu :
a. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus).
Persetujuan
kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai
pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
dikehendaki oleh pihak yang lainnya.[8]
b. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).
Kecakapan
berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum
sendiri yang dilakukan oleh subjek hukum. Pada umumnya, seseorang
dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa,
artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum
berumur 21 tahun.
Akibat
hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang
telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Jika
permbatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, sepanjang
tidak dimungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu tetap
berlaku bagi pihak-pihak.[9]
c. Ada suatu hal tertentu (objek)
Suatu
hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi
yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya
dapat ditentukan. Jika pokok perjanjian, atau objek perjanjian, atau
prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin
dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig,void)[10]
d. Ada suatu sebab yang halal (causa)
Kata causa berasal
dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah suatu yang
menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengartikan causa yang halal bukanlah
sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat
perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang
menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak.
Ketentuan
dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa
Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang
mengadakan perjanjian, karena yang diperhatikan atau diawasi oleh
Undang-Undang itu ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan
yang hendak dicapai oleh para pihak serta isinya tidak dilarang oleh
Undang-Undang, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum.[11]
Syarat
pertama dan kedua Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut
syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek
perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan.
Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada Hakim, perjanjian itu
tetap mengikat pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum lampau
waktu lima tahun (Pasasl 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Syarat
ketiga dan keempat Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut
syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian.
Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal. Kebatalan ini dapat
diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan kemuka Hakim,
dan Hakim menyatakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat
objektif.
3. Asas-Asas Perjanjian
Hukum
perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar
kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut
adalah sebagai berikut ini:
a. Asas
kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa
saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam Undang-Undang.
Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang
oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak
bertentangan dengan kesusilaan.[12]
b. Asas
pelengkap. Asa ini mengandung arti bahwa ketentuan Undang-Undang boleh
tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang
. tetapi apabila dalam perjanjian yag mereka buat tidak ditentukan
lain, maka berlakulah ketentuan Undang-Undang. Asas ini hanya mengenai
hak dan kewajiban pihak-pihak saja.[13]
c. Asas
konsensual. Asas in mengandung arti bahwa perjanjian itu tidak terjadi
saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai
pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai
akibat hukum. Dari asa ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang
dibuat cukup secara lisan saja. Tetapi ada perjanjian tertentu yang
dibuat secara tertulis, misalnya perjanjian perdamaian, hubah,
pertanggungan. Tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai apa yang
mereka perjanjikan.[14]
d. Asas
obligator. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian dibuat oleh
pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja,[15]
e. Asas
tidak boleh main hakim sendiri. Asas ini patut mendapat perhatian
karena apabila dalam suatu perjanjian yang telah dibuat dengan
kesepakatan bersama antara para pihak, dan kemudian ternyata tidak bisa
dipenuhi oleh salah satu pihak yang seharusnya berkewajiban melaksanakan
perjanjian sebagaimana yang telah dibuat, dengan sendirinya terjadi breach of contract
atau pelanggaran terhadap kesepakatan. Oleh karena itu, dalam keadaan
demikian, pihak yang melakukan wanprestasi harus dapat dipaksa untuk
memenuhi kewajibannya.[16]
4. Cara Membuat Perjanjian
Tidak
ada aturan baku dalam membuat sebuah perjanjian, artinya bentuk/format
dan isinya diserahkan kepada masing-masing pihak, hal ini sesuai dengan
asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam hukum perjanjian.
Intinya, perjanjian yang dibuat para pihak harus dapat menampung segala
kebutuhan dari para pihak yang membuatnya dan harus sedetail mungkin
karena semakin detail sebuah perjanjian maka akan memudahkan para pihak
untuk melaksanakan perjanjian tersebut karena tidak menimbulkan
penafsiran ganda dan memperkecil celah pihak lain untuk melakukan
pelanggaran terhadap perjanjian yang telah dibuat.
Seperti
telah dijabarkan diatas bahwa pada dasarnya tidak ada aturan yang
mengikat dalm membuat perjanjian namun sebuah perjanjian idealnya
memuat:
1) Identitas para pihak dan saksi
2) Objek perjanjian.
3) Harga kesepakatan.
4) Sitem pembayaran
5) Hak dan kewajiban pihak pertama
6) Hak dan kewajiban pihak kedua
7) Penyelesaian perselisihan: secara kekeluargaan atau pengadilan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku
8) Waktu perjanjian
9) Syarat keaslian perjanjian.[17]
5. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit
Kredit berasal dari bahasa Romawi “credere”
yang berarti percaya. Dasar dari kredit adalah adanya kepercayaan.
Pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit
(debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjika,
baik menyangkut jangka waktunya, maupun prestasi, dan kontraprestasinya.
Kondisi dasar seperti ini diperlukan oleh bank, karena tu diperlukan
kebijaksanaan oleh bank dalam penggunaan dana tersebut termasuk di
dalamnya untuk menentukan pemberian kredit.[18]
Pengertian
kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan:
Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujan atau kesepakatn pinjam meminjam atara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Dari
pengertian tersebut kita dapat melihat adanya suatu kontraprestasi yang
akan diterima kreditur pada masa yang akan datang berupa jumlah bungan,
imbalan, atau pembagian hasil keuntungan, dengan demikian maka jelas
tergambar bahwa kredit dalam arti ekonomi, adalah penundaan pembayaran
dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk barang, uang,
maupun jasa. Disini terlihat bahwa faktor waktu merupakan faktor utama
yang memisahkan prestasi dan kontra prestasi[19]
Tujuan perkreditan harus diarahkan untuk kepentingan bank, yaitu:
a. Membantu
perkembangan kegiatan ekonomi sesuai dengan kebijaksanaan dan program
pemerintah dengan tetap mendasarkan pada persyaratan bank secara teknis
dan wajar.
b. Mencari keuntungan yang layak bagi bank
c. Membantu perluasan pemanfaatan jasa-jasa perbankan lainnya, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kredit itu sendiri.
Tujuan
dasar kredit dimaksudkan untuk pencapaian suatu tujuan tertentu yang
tidak boleh merugikan tujuan lainnya, bahkan harus saling menunjang atau
dapat dicapai bersama. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dan
melalui suatu analisis dan penelitian yang cermat untuk mencegah
terjadinya kerugian bagi bank.[20]
Perjanjian
kredit menurut Hukum Perdata Indonesia, adalah salah satu dari bentuk
perjanjian pinjam meminjam. Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit
diadakan pada hakikatnya, adalah suatu perjanjian pinjam meminjam
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Pasal
1754 s/d 1769. Dengan demikian pembuatan suatu perjanjian kredit dapat
mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada pada Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, tetapi dapat pula berdasarkan kesepakatan diantara para
pihak, artinya dalam hal-hal ketentuan yang memaksa maka harus sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tersebut, sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa diserahkan
kepada para pihak.[21]
Tentang
bagaimana hakikat dari perjanjian kredit jika dihubungkan dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, maka secara yuridis, perjanjian kredit
dapat dilihat dari 2 (dua) segi pandang sebagai berikut:
a. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam pakai habis
b. Perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus.
Jika
perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus, maka tidak ada perjanjian
bernama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang disebut dengan
perjanjian kredit. Karena itu, yang berlaku adalah ketentuan umum dari
hukum perjanjian tentunya ditambah dengan klausul-klausul yang telah
disepakati bersama dalam kontrak yang bersangkutan.
Selanjutnya,
penggolongan perjanjian kredit sebagai perjanjian bernama dalam
tampilannya sebagai perjanjian pinjam pakai, maka disamping terhadapnya
berlaku ketentuan umum tentang perjanjian, berlaku juga ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian pinjam pakai habis. Hal
ini berbeda dengan perjanjian pinjam pakai biasa, dimana yang harus
dikembalikan oleh debiturya adalah fisik dari benda yang
dipinjam.sementara dalam perjanjian pinjam pakai habis, yang
dikembalikan adalah nilai dari benda yang dipinjam pakai tersebut.[22]
6. Bentuk Perjanjian Kredit
Menurut
hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang
penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk
dijadikan alat bukti, karena hakekatnya pembuatan perjanjian adalah
sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern
yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudak tidak dapat disarankan
untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan sulit
dijadikan sebagai alat bukti bila terjadi masalah dikemudian hari.
Dasar
hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat
11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal itu terdapat
kata-kata: penyedian uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat
tersebut menunjukan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian.
Dasar
hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah
instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober
1966. Dalam Instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian
kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan
Debitur atau antara Bank sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank
Indonesia yang ditunjukan kepada segenap Bank Devisa Nomor
03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang
berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit.
Dengan keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh Bank
kepada Debiturnya menjadi pasti bahwa:
a. Perjanjian diberi nama perjanjian kredit.
b. Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis.
Perjanjian
kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara Bank dengan Debitur
sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang
mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan
perjanjian kredit.
Perjanjian
kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat
bukti. Dikatakan salah satu bentuk akta karena masih banyak
perjanjian-perjanjian lain yang merupakan akta misalnya perjanjian jual
beli, perjanjian sewa-menyewa dan lain-lain.[23]
7. Berakhirnya Perjanjian
Suatu perjanjian akan berakhir apabila :
a. Ditentukan oleh undang-undang;
b. Undang-Undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus;
d. Adanya pernyataan penghentian persetujuan atau perjanjian;
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim;
f. Tujuan perjanjian telah tercapai.[24]
0 komentar:
Posting Komentar