Dasar Hukum Asuransi
A. DEFINISI DAN UNSUR ASURANSI
Menurut
Ketentuan Pasal 246 KUHD, Asuransi atau Pertanggungan adalah Perjanjian
dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
dideritanya akibat dari suatu evenemen (peristiwa tidak pasti).
Menurut
Ketentuan Undang–undang No.2 tahun 1992 tertanggal 11 Pebruari 1992
tentang Usaha Perasuransian (“UU Asuransi”), Asuransi atau pertanggungan
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi
asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Berdasarkan
definisi tersebut di atas maka asuransi merupakan suatu bentuk
perjanjian dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, namun dengan karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan
yang bersifat untung-untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774
KUH Perdata.
Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, “Suatu persetujuan untung–untungan (kans-overeenkomst)
adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik
bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu
kejadian yang belum tentu”.
Beberapa hal penting mengenai asuransi:
1. Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata;
2. Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya
isi perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh Perusahaan Asuransi
(kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan
ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999
tentang Perlindungan Konsumen;
3. Terdapat
2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun dapat
juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan
menerima tanggungan;
4. Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk diadakan perjanjian asuransi;
5. Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk melaksanakan kewajibannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada Asuransi adalah:
1. Subyek hukum (penanggung dan tertanggung);
2. Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;
3. Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;
4. Tujuan yang ingin dicapai;
5. Resiko dan premi;
6. Evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;
7. Syarat-syarat yang berlaku;
8. Polis asuransi.
B. TUJUAN ASURANSI
a. Pengalihan Risiko
Tertanggung
mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam
harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada
perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada
penanggung.
b. Pembayaran Ganti Kerugian
Jika
suatu ketika sungguh–sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan
dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah
asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat
sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss).
Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk
memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh–sungguh diderita.
Dalam
pembayaran ganti kerugian oleh perusahaan asuransi berlaku prinsip
subrogasi (diatur dalam pasal 1400 KUH Per) dimana penggantian hak si
berpiutang (tertanggung) oleh seorang pihak ketiga (penanggung/pihak
asuransi) – yang membayar kepada si berpiutang (nilai klaim asuransi) –
terjadi baik karena persetujuan maupun karena undang-undang.
C. BERLAKUNYA ASURANSI
Hak
dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya
asuransi walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam
prakteknya dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau
ditandatanganinya kontrak sementara (cover note)
dan dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan
yang berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan
polis asuransi (Pasal 255 KUHD).
D. POLIS ASURANSI
1. Fungsi Polis
Menurut
ketentuan pasal 225 KUHD perjanjian asuransi harus dibuat secara
tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis yang memuat kesepakatan,
syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan
hak dan kewajiban para pihak (penanggung dan tertanggung) dalam
mencapai tujuan asuransi. Dengan demikian, polis merupakan alat bukti tertulis tentang telah terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung.
Mengingat
fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para pihak (khususnya
Tertanggung) wajib memperhatikan kejelasan isi polis dimana sebaiknya
tidak mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan
interpretasi sehingga dapat menimbulkan perselisihan (dispute).
2. Isi Polis
Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut ini:
a. Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;
b. Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga;
c. Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;
d. Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan);
e. Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung;
f. Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung;
g. Premi asuransi;
h.
Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala
janji-janji khusus yang diadakan antara para pihak, antara lain
mencantumkan BANKER’S CLAUSE, jika terjadi peristiwa (evenemen) yang menimbulkan kerugian penanggung dapat berhadapan dengan siapa pemilik atau pemegang hak.
Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan bahwa di dalam polisnya harus pula menyebutkan:
a. Letak barang tetap serta batas-batasnya;
b. Pemakaiannya;
c. Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang berpengaruh terhadap obyek pertanggungan;
d. Harga barang-barang yang dipertanggungkan;
e. Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat dimana barang-barang bergerak yang dipertanggungkan itu berada.
Untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu diperhatikan tujuh aspek penutupannya, yaitu:
1. Bencana yang ditutup;
2. Yang ditutup;
3. Kerugian yang ditutup;
4. Orang-orang yang ditutup;
5. Lokasi-lokasi yang ditutup;
6. Jangka waktu yang ditutup;
7. Bahaya-bahaya yang dikecualikan.
3. Jenis Klausula Asuransi
Dalam
perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan
secara tegas dalam polis, yang lazim disebut Klausula asuransi yang
maksudnya untuk mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam
pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian. Jenis-jenis asuransi tersebut ditentukan oleh sifat objek
asuransi itu, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula yang dimaksud antara lain:
a. Klausula Premier Risque
Klausula
ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi dibawah nilai benda terjadi
kerugian, penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya sampai
maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3 KUHD). Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian, asuransi tanggung jawab.
b. Klausula All Risk
Klausula
ini menentukan bahwa penanggung memikul segala resiko atau benda yang
diasuransikan. ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang
timbul akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena
kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249 KUHD).
c. Klausula Total Loss Only (TLO)
Klausula
ini menentukan bahwa penanggung hanya menanggung kerugian yang
merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.
d. Klausula Sudah Diketahui (All Seen)
Klausula
ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan bahwa
penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak dan cara
pemakaian bangunan yang diasuransikan.
e. Klausula Renunsiasi (Renunciation)
Menurut
Klausula penanggung tidak akan menggugat tertanggung, dengan alasan
pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus
diberlakuan secara jujur atau itikad baik dan sesuai dengan kebiasaan.
berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen tertanggung tidak
memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada penanggung, maka
penanggung tidak akan mengajukan pasal 251 KUHD dan penanggung akan
membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung.
f. Klausula Free Particular Average (FPA)
Bahwa penaggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (Particular Average)
seperti ditentukan dalam pasal 709 KUHD dengan kata lain penanggung
menolak pembayaran ganti kerugian yang diklaim oleh tertanggung yang
sebenarnya timbul dari akibat peristiwa khusus yang sudah dibebaskan
klausula FPA.
g. Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC)
Riot (kerusuhan)
adalah tindakan suatu kelompok orang, minimal sebanyak 12 orang, yang
dalam melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana gangguan
ketertiban umum dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta
pengrusakan harta benda orang lain, yang belum dianggap sebagai
huru-hara.
Strike (pemogokan)
adalah tindakan pengrusakan yang disengaja oleh sekelompok pekerja,
minimal 12 orang pekerja atau separuh dari jumlah pekerja (dalam hal
jumlah seluruh pekerja kurang dari 24 orang),yang menolak bekerja
sebagaimana biasanya dalam usaha untuk memaksa majikan memenuhi tuntutan
dari pekerja atau dalam melakukan protes terhadap peraturan atau
persyaratan kerja yang diberlakukan oleh majikan.
Civil Commotion (huru-hara)
adalah keadaan di suatu kota dimana sejumlah besar massa secara
bersama-sama atau dalam kelompok-kelompok kecil menimbulkan suasana
gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan
menggunakan kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar harta
benda, sedemikian rupa sehingga timbul ketakutan umum, yang ditandai
dengan terhentinya lebih dari separuh kegiatan normal pusat
perdagangan/pertokoan atau perkantoran atau sekolah atau transportasi
umum di kota tersebut selama minimal 24 jam secara terus menerus yang
dimulai sebelum, selama atau setelah kejadian tersebut.
4. Hal yang harus diperhatikan:
Banker’s Clause atau
Klausula Bank adalah suatu klausula yang tercantum dalam Polis yang
hanya dicantumkan atas permintaan pihak Bank dimana dalam polis secara
tegas dinyatakan bahwa Pihak Bank adalah sebagai penerima ganti rugi
atas peristiwa yang terjadi atas obyek pertanggungan sebagaimana
disebutkan dalam perjanjian asuransi (polis).
Klausula
ini muncul sebagai akibat adanya hubungan hutang piutang antara Debitur
dan Kreditur dimana obyek pertanggungan adalah menjadi jaminan Bank;
sehingga klausula ini bukan merupakan standard yang pada umumnya
tercantum dalam Polis.
E. JENIS ASURANSI
Asuransi pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa.
1. Asuransi Kerugian terdiri dari:
a. Asuransi Kebakaran;
b. Asuransi Kehilangan dan Kerusakan;
c. Asuransi laut;
d. Asuransi Pengangkutan;
e. Asuransi Kredit.
2. Asuransi Jiwa terdiri dari
a. Asuransi Kecelakaan;
b. Asuransi Kesehatan;
c. Asuransi Jiwa Kredit.
F. BATALNYA ASURANSI
Suatu
pertanggungan atau asuransi karena pada hakekatnya adalah merupakan
suatu perjanjian maka ia dapat pula diancam dengan resiko batal atau
dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat syahnya perjanjian
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain itu KUHD mengatur tentang ancaman batal apabila dalam perjanjian asuransi:
1. Memuat
keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila tertanggung tidak
memberitahukan hal-hal yang diketahuinya sehingga apabila hal itu
disampaikan kepada penanggung akan berakibat tidak ditutupnya perjanjian
asuransi tersebut (Pasal 251 KUHD);
2. Memuat suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi ditandatangani (Pasal 269 KUHD);
3. memuat
ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan melalui pengadilan
membebaskan si penanggung dari segala kewajibannya yang akan datang (Pasal 272 KUHD);
4. Terdapat suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si tertanggung (Pasal 282 KUHD);
5. Apabila obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik kapal Indonesia
atau kapal asing yang digunakan untuk mengangkut obyek pertanggungan
menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).
G. SANKSI
Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tetanggung dapat dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada tertanggung); dan
2. Sanksi Pidana.
1. Sanksi Administratif
Setiap
Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”) serta peraturan
pelaksanaannya yang berkenaan dengan:
a. Perizinan usaha;
b. Kesehatan keuangan;
c. Penyelenggaraan usaha;
d. Penyampaian laporan;
e. Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan langsung;
dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).
Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap:
a. Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan
keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak
mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu
yang ditetapkan, dikenakan denda administratif Rp. 1.000.000.000 (satu
juta Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan;
b. Perusahaan
Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak
menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dikenakan denda administratif Rp. 500.000 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).
2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam Pasal 21 UU Asuransi, berikut ini:
a. Terhadap pelaku utama
Orang
yang menjalankan atu menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa
izin usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara
mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan
Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau
perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000 (dua milyar
lima ratus juta Rupiah).
b. Terhadap pelaku pembantu
Orang
yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjal kembali
kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang
diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang–barang tersebut adalah
kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa
atau Perusahaan Reasuransi, dianjam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta
Rupiah).
c. Terhadap pemalsu dokumen
Orang
yang secara sendiri–sendiri atau bersama–sama melakukan pemalsuan atas
dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau
Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
dan denda paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta
Rupiah).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
1. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Hukum Asuransi di Indonesia, Penerbit PT Intermasa, 1986;
2. H. Mashudi, SH. MH dan Moch. Chidir Ali, SH. (Alm.), Hukum Asuransi, Penerbit CV. Mandar Maju, 1995;
3. Undang – Undang Usaha Perasuransian Jaminan Sosial Tenaga Kerja Perbankan 1992, Penerbit CV. Eko Jaya, Jakarta, 1992;
4. Prof. Abdulkadir Muhammad, SH., Hukum Asuransi Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1999;
5. Hasanuddin Rahman, S.H., Aspek–Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
0 komentar:
Posting Komentar